Akademisi Sorot Strategi Indonesia Rangkul AS dan China di Tengah Kebijakan Proteksionis Trump
Hubungan kompleks Amerika Serikat dan China kembali menjadi sorotan utama agenda global, terutama dengan kemunculan apa yang disebut sebagai "Perang Dagang Trump 2.0".
Fenomena ini menandai kelanjutan atau eskalasi dari kebijakan proteksionis di bawah kepemimpinan Presiden Trump, menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai dampaknya terhadap ekonomi global dan, secara khusus, posisi Indonesia di tengah gejolak ini.
Diskusi mendalam mengenai topik ini digagas Paramadina Public Policy Institute (Paramadina School of Diplomacy) dan Forum Sinologi Indonesia (FSI) pada Kamis, 31 Juli 2025 di Universitas Paramadina Trinity Tower, Jakarta.
Acara yang mengangkat tajuk “Antara Amerika dan China: Indonesia di Era Perang Dagang Trump 2.0” menunjukkan pentingnya kolaborasi lintas institusi dalam menganalisis isu-isu geopolitik dan ekonomi.
Managing Director dari Paramadina Public Policy Institute, Achmad Khoirul Umam menyampaikan, kebijakan tarif Trump ini menempatkan Indonesia pada momentum positif meskipun ada tantangan signifikan.
Ada perhatian terhadap persaingan global yang semakin ketat, terutama dengan negara-negara yang memiliki komoditas ekspor serupa. "Kita tidak pernah melihat bagaimana saat ini Eropa begitu kritis memandang bagaimana pola relasinya dengan Amerika," ungkap Umam.
"Hal sama juga terjadi di Asia Timur di mana China, Jepang, dan Korea Selatan yang hampir tidak pernah duduk bersama, kini membicarakan bersama masa depan Asia Timur hari ini," lanjutnya.
Khoirul Umam menambahkan, "ini menjadi berkah tetapi berkah yang dengan tanda kutip karena di sisi lain hal ini menimbulkan ketidak pastian, baik secara ekonomi, politik dan lain sebagainya."
Dalam kesempatan sama, dosen FISIP Universitas Pelita Harapan, Johanes Herlijanto menyampaikan, usai Presiden Prabowo berkunjung ke Beijing dan merilis pernyataan bersama dengan Presiden Xi Jinping (akhir 2024), pemerhati dalam negeri maupun internasional berandai-andai Indonesia cenderung lebih condong kepada RRC.
“Namun kesepakatan Presiden Prabowo dan Trump baru-baru ini memperlihatkan bahwa Indonesia pun berupaya merangkul AS dan dengan demikian tetap berkomitmen menjaga posisi netral dalam konstalasi geopolitik yang berkembang saat ini,” jelas Johanes yang juga Ketua FSI.
Akademisi ini berpendapat bahwa upaya Indonesia mempertahankan, atau bahkan meningkatkan, relasi ekonomi dengan AS itu menggugurkan prediksi bahwa Indonesia cenderung berpihak pada salah satu negara besar dunia.
“Selain urusan perdagangan, kesepakatan tarif dengan Trump perlu dipandang sebagai upaya cerdas Prabowo menjaga netralitas,” katanya.
Selain itu, Johanes juga sepakat dengan pandangan ekonom Malaysia, Prof. Woo Wing Thye, yang memandang kesepakatan di atas sebagai sebuah strategi Indonesia merangkul kekuatan kekuatan besar dunia, termasuk China dan AS, agar Indonesia dapat memobilisasi dukungan global bagi agenda pembangunan nasionalnya.
Namun Johanes mengingatkan bahwa kesepakatan antara Prabowo dan Trump di atas dapat saja direspons oleh RRC dengan meminta Indonesia memberikan akomodasi yang lebih bagi kepentingan RRC.
Menurutnya, setidaknya terdapat dua hal yang patut diwaspadai, pertama adalah bila RRC meminta hambatan yang lebih rendah lagi bagi masuknya barang-barang mereka. Johanes berpendapat bahwa bila permintaan tersebut terjadi dan dikabulkan, maka produk asal RRC yang saat ini pun telah mendominasi pasar Indonesia akan semakin merajalela.
Mengingat produk asal negara itu seringkali berkompetisi langsung dengan produk-produk lokal, kehadirannya yang makin masif akan membawa dampak signifikan bagi dunia usaha dan dunia kerja di Indonesia.
Hal kedua yang perlu menjadi catatan adalah bila Tiongkok meminta lebih banyak partisipasi dalam berbagai proyek-proyek penting di Indonesia, misalnya proyek infrastruktur.
Dalam pandangan Johanes, penting bagi pemerintah mengkaji dan mengevaluasi keterlibatan China terutama potensi pembengkakan anggaran dan meningkatnya beban pengembalian pinjaman dalam jangka panjang yang dipikul oleh pemerintah Indonesia di masa mendatang.
Menyorot Kesepakatan Tarif Trump
Dalam diskusi yang dipandu Dosen Hubungan Internasional President University, Mohammad Farid, staf ahli dan juru bicara masalah ekonomi Kantor Komunikasi Presiden, Fithra Faisal Hastiadi menyatakan kesepakatan Indonesia dan AS memiliki peran penting bagi AS.
Hal ini mengingat kesepakatan Indonesia dan AS menjadi semacam tren yang diikuti dengan kesepakatan-kesepakatan antara AS dengan negara-negara lain, yaitu Filipina, Jepang, Uni-Eropa, dan Korea Selatan.
Dia mengatakan, kesepakatan tarif yang akhirnya diumumkan adalah hasil sebuah usaha terbaik yang telah dilakukan pemerintah Indonesia. Ahli ekonomi yang memperoleh gelar doktor Universitas Waseda Jepang ini, keberhasilan memperoleh tarif dari AS hingga sekitar 15 sampai 20 persen adalah skenario paling ideal.
“Peristiwa kemarin ideal sekali, dan merupakan the best deal (kesepakatan terbaik). Dan andai ada negara lain yang mendapatkan 15 persen, maka kita akan memperoleh kesempatan untuk melakukan negosiasi kedua,” tutur dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia.
Secara daring Fithra menuturkan, kesepakatan tarif antara Indonesia dan AS ini memperlihatkan bahwa Indonesia dianggap lebih favorit oleh AS dibandingkan dengan negara-negara lain, misalnya dibandingkan dengan Vietnam yang memperolah tarif 20 persen.
Menurutnya, Indonesia juga berhak meminta negosiasi lebih lanjut bila terdapat negara-negara anggota ASEAN (Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara) yang memperoleh tarif lebih rendah, misalnya 15 persen.
“Bahkan kita sedang mengusahakan agar produk-produk Indonesia yang tidak bersaing langsung dengan produk-produk AS, seperti nikel, kayu manis, rempah, mineral kritis, produk agrikultur, kopi, kakao, dan minyak kelapa mentah, dapat mendapatkan penurunan tarif hingga 0 persen,” katanya.
Oleh karenanya, Fithra berpandangan bahwa kesepakatan tarif yang sudah dicapai merupakan yang terbaik bagi rakyat AS dan Indonesia.
Lily Yan Ing, Sekretaris Jenderal Asosiasi Ekonomi Internasional (AEI), yang menjadi pembicara dalam seminar tersebut, menyampaikan pandangan yang berbeda. Menurutnya, kesepakatan tarif antara Indonesia dan AS justru memunculkan dilema.
Ia mengkhawatirkan apa yang Indonesia telah tawarkan pada AS dalam kesepakatan tarif pada awal Juli 2025 ini menjadi preseden yang sangat buruk, karena akan dipertanyakan oleh mitra dagang Indonesia yang lain, seperti China, Jepang, Korea Selatan, Australia, India, dan negara-negara mitra yang lain.
“Mereka akan bertanya mengapa Indonesia hanya menawarkan kepada AS, dan tidak kepada yang lain,” tutur Lily. Oleh karenanya, Lily meminta agar dilakukan negosiasi kembali terhadap tarif yang telah disepakati sesuai dengan hukum internasional dan prinsip saling menghormati.
Hubungan Indonesia di antara Amerika dan China
Terkait dengan hubungan ekonomi Indonesia China, Lily mengingatkan bahwa China sebenarnya juga memiliki isu struktural. “Pertama adalah kapasitas yang berlebih (over capacity), sedangkan yang kedua adalah subsidi yang berlebih pada sektor industrial,” tegasnya.
Oleh karenanya, Lily menghimbau agar dalam melakukan negosiasi dengan China, Indonesia menekankan agar China melakukan pembatasan ekspor secara sukarela (voluntary export restriction) untuk produk yang memiliki kesamaan dengan produk-produk di Indonesia, seperti garmen, alas kaki, dan produk-produk lain yang berbasis tenaga kerja intensif.
Lily juga menganggap pemanfaatan Perjanjian Perdagangan Bebas Asean China (ACFTA) dan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) secara optimal sebagai suatu hal yang penting untuk dilakukan. Sedangkan keanggotaan dalam BRICS menurutnya dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih strategis.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, yang juga bertindak sebagai pembicara dalam seminar di atas, mengatakan bahwa saat ini telah terjadi pergeseran dalam perbandingan antara berbisnis dengan AS dan dengan China. “Berbisnis dengan China sekarang makin mudah daripada berbisnis dengan AS,” tuturnya.
Senada dengan Johanes, Wijayanto menilai bahwa dalam konstalasi geopolitik yang berkembang, Indonesia akan selalu berada di tengah.
Namun ia juga menekankan bahwa meskipun berada di tengah, Indonesia akan lebih condong kepada China, karena dalam pandangannya, berbisnis dengan China saat ini cenderung lebih mudah.
“Pada saat yang sama, kepercayaan (trust) kepada China pun makin meningkat,” pungkasnya.


0 Response to "Akademisi Sorot Strategi Indonesia Rangkul AS dan China di Tengah Kebijakan Proteksionis Trump"
Posting Komentar